HAWA NAFSU MANUSIA
Allah SWT. menciptakan manusia sebagai khalifah yang menguasai dan mendayagunakan bumi dan alam sekitarnya untuk kesejahteraan manusia.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al-Baqarah: 30)
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Al-Baqarah: 29)
Kesemuanya itu dalam rangka ikhlas beribadah mengabdi kepada-Nya.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (Adzariyat: 56)
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (Al-Bayyinah: 5).
Agar misi sebagai khalifah dapat berjalan, Allah memberi nafsu pada diri manusia sebagai sumber pendorong perubahan dan perkembangan selama manusia masih hidup. Pada nafsu itu diberi ilham tentang manakah keinginan-keinginan baik yang dibenarkan dan diridhai oleh Allah SWT. sehingga setiap proses mewujudkan keinginan-keinginan itu dapat bernilai ibadah dan mengabdi kepada Allah SWT. Serta manakah keinginan-keinginan buruk yang apabila diperturutkan maka proses mewujudkannya adalah maksiat kepada Allah SWT. Firman Allah:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا. فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا. قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا. وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (As-Syams: 7-10).
Selain nafsu, Allah SWT. juga menciptakan akal pikiran pada diri manusia, yang berfungsi sebagai pembantu nafsu dalam mempertimbangkan suatu keinginan, apakah mungkin atau tidak mungkin, logis atau tidak logis, bermanfaat atau tidak bermanfaat, baik atau buruk, diridhoi Allah atau dimurkai, dan seterusnya sekaligus mencarikan alternatif cara dan proses apabila ia diwujudkan. Dan sebagai standar penilaian itu adalah Al-Qur’an, wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
يُؤتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ
“Allah menganugerahkan al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (Al-Baqarah: 269)
Hawa nafsu sebagai sumber dan pendorong segala keinginan pada diri manusia, dalam proses memunculkan suatu keinginan dan usaha untuk mewujudkannya, ada yang mendapat rahmat Allah sehingga mengikuti ilham dari Allah untuk selalu bertaqwa kepada-Nya. Ia bersedia dengan ikhlas mengikuti jalan Allah yang lurus, dan tidak berani untuk mendustai-Nya. Ia merasa aman dan tentram selalu berada dalam keridhaan-Nya dan menolak untuk bermaksiat kepada-Nya. Inilah nafsu yang disebut dengan “Nafsu Mutmainnah” yang akan dipanggil oleh Allah untuk menghadap dan bersemayam dengan tentram di sisi-Nya, seperti dalam firman Allah:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً. فَادْخُلِي فِي عِبَادِي. وَادْخُلِي جَنَّتِي
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (Al-Fajr: 27-30)
Namun ada pula yang sebaliknya. Nafsu yang merasa puas dan tentram jika bermaksiat kepada Allah, menolak dengan keras segala seruan untuk mengabdi kepada Allah. Ia lebih suka mengikuti seruan syaithan. Ini seperti pada saat iblis raja syaithan menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Iblis saat itu mengikuti hawa nafsu sombongnya yang menganggap bahwa dia lebih mulia dari pada Adam sebaba ia diciptakan oleh Allah dari api sedangkan Adam dari tanah. Firman Allah:
وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُواْ لِآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ إِبْلِيسَ لَمْ يَكُن مِّنَ السَّاجِدِينَ. قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَاْ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud. Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (Al-A’raf: 11-12).
Hawa nafsu yang senang bermaksiat dan mendurhakai Allah ini disebut dengan “Nafsu Amarah bi Su’” (Nafsu yang menyuruh kepada kejelekan), sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi Yusuf dalam firman Allah:
وَمَا أُبَرِّىءُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Yusuf: 53)
Kemudian, nafsu itu juga mempunyai sifat tidak pernah puas terhadap segala keinginan yang telah terwujud atau dalam proses perwujudannya. Jika nafsu mendorong untuk berbuat suatu kebajikan lalu berhasil mewujudkannya, maka ia akan menyesal mengapa tidak lebih banyak lagi kebajikan dapat ia wujudkan. Dalam posisi ini, sifat nafsu ini adalah baik dan mulia. Namun jika sebaliknya, nafsu amarah bi su’ yang mendorong kepada kejelekan dan berhasil mewujudkannya, maka ia pun tidak merasa puas, bahkan menyesali mengapa tidak lebih banyak lagi kemaksiatan ia wujudkan sehingga tercapai kepuasan, meskipun pada hakekatnya kepuasan yang ia kehendaki tidak mungkin akan tercapai. Rasulullah SAW. bersabda:
لوكان لإبن أدم واد من مال لابتغى اليه ثانيا ولو كان له واديان لابتغى لهما ثالثا ولايملأ جوف ابن أدم الا الترب ويتوب الله من تاب.
“Andaikata anak Adam memiliki satu lembah berisi harta pasti dia berharap untuk mendapatkan lembah yang kedua. Dan seandainya ia telah memiliki dua lembah berisi harta, pastilah dia berharap lembah yang ke tiga. Tidak ada yang dapat memenuhi keinginan perut anak Adam kecuali tanah (mati dikubur). Allah menerima taubat setiap orang yang bertaubat kepada-Nya”. (HR: Ahmad, Bukhari, Muslim dan Tirmizi).
Sifat nafsu ini disebut dengan “Nafsu Lawwamah”, sebagaimana firman Allah:
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. (Al-Qiyamah: 2)
Dalam penyesalan karena ketidak puasannya, nafsu lawwamah yang mengikuti nafsu amarah bi su’ berkeluh kesah seperti dalam Firman Allah:
إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا. وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. (Al-Fajr: 15-16)
Inilah sekelumit hawa nafsu manusia. Hawa nafsu ini bersemayam dalam hati. Hati bukan dalam arti fisik berupa segumpal daging dalam tubuh yang terletak di dada kiri, tapi hati dalam arti yang lebih lembut dan abstrak yang disebut oleh Allah dan Rasulullah sebagai pusat pengendali baik dan buruk amal manusia. (Sekelumit tentang hati kami tulis di bawah. Insha Allah bahasan lebih lanjut pada tulisan lain).
Di dalam hati, hawa nafsu mutmainnah dan amarah bi su’ saling berebut pengaruh untuk menjadi sumber pendorong dalam setiap keinginan yang akan diwujudkan oleh manusia. Seluruh panca indera dan anggauta badan yang lain adalah sumber informasi untuk terwujudnya suatu kegiatan sekaligus sebagai pelaksana dalam mewujudkan keinginan itu.
Allah Maha Mengetahui, oleh sebab seluruh panca indera dan anggauta badan adalah sumber informasi dan sekaligus pelaksana hawa nafsu, maka Allah menurunkan tata aturan bagaimana mendayagunakan seluruh panca indera dan anggauta badan yang benar dan diridhai-Nya sehingga setiap perbuatan yang dihasilkan maka akan bernilai ibadah kepada-Nya.
Manusia dihiasi syahwat cinta kepada wanita, anak-anak, dan harta benda dunia lainnya, sehingga seluruh panca indera dan anggauta badan lainnya pun bekerja memberikan informasi kepada hati tentang apa yang ia lihat dan ingin rasakan, dan Allah pun menunjukkan bagaimana syahwat cinta kepada semuanya itu dimulai dari proses pemberian informasi sampai proses perwujudan kenikmatan dapat bernilai ibadah kepada-Nya.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan syahwat kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (Ali-Imron: 14)
Sedikit contoh kami berikan, ketika mata seorang lelaki jatuh menatap wanita cantik di hadapannya, informasi ini dikirim ke dalam hati, lalu hiasan syahwat cinta kepada wanita yang diberikan Allah kepada manusia mendorong hawa nafsu merespon dengan beragam keinginan. Lalu Allah memberikan bimbingan kepada nafsu seperti dalam hadis Rasul SAW. bahwa: Pandangan pertama kepada segala sesuatu adalah memang pekerjaan mata, akan tetapi pandangan berikutnya adalah respon nafsu terhadap apa yang ia lihat, maka berhati-hatilah, kalau nafsu amarah bi su’ yang menguasai, maka pandangan yang berikutnya itu akan dikenai hisab oleh Allah. Dan Allah-pun mengajarkan bagaimana memandang yang dibenarkan, ialah pandangan ketika berta’aruf dan meminang untuk dijadikan isteri sah dalam rangka beribadah kepada-Nya saja yang dibenarkan.
Untuk ini Rasulullah SAW. bersabda:
قال رسول الله صلىالله عليه وسلم: لا يؤمن أحدكم جتى يكون هواه تبعا لما جئت به.
Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak beriman salah seorang diantara kamu sehingga hawa nafsunya mengikuti ajaran yang aku bawa” .
Rasulullah SAW. Juga memberi petunjuk kepada hati ketika nafsu mutmainnah dan amarah bi su’ saling berebut pengaruh:
عن وابصة بن معبد رضىالله عنه قال أتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال جئت تسأل عن البر؟. قلت نعم. قال استفت قلبك البر مااطمأنت اليه النفس واطمأن إليه القلب. والإثم ماحاك فى النفس وتردد فى الصدر وإن افتاك الناس وأفتوك
“Wabishah bin Ma’bad r.a berkata: Aku mendatangi Rasulullah SAW, lalau beliau bertanya: “Engkau datang hendak menanyakan tentang kebaikan?”. Aku menjawab: “Ya!”. Nabi bersabda: “Mintalah fatwa pada hatimu. Kebaikan adalah apa-apa yang jiwa/nafsu dan hatimu merasa aman dan tentram. Sedangkan dosa adalah apa-apa yang menimbulkan keraguan dalam jiwa/nafsu dan hatimu meski kau meminta pendapat atau diberi pendapat oleh orang lain”. (HR. Ahmad bin Hambal dan Ad-Darimi)
No comments:
Post a Comment